Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

POTENSI MANGROVE SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT DI WILAYAH PESISISIR


PENYUSUN:
Hendra Saputra              115080107111006      -2011
Tiyan Alfianto                115080101111022      -2011
Dikky Ristan Arifullah  115080100111018      -2011
POTENSI MANGROVE SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT DI WILAYAH PESISISIR

Ringkasan


 Hutan mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan logam berat dalam jaringan tubuh sepeti daun, batang dan akar yang terbawa di dalam sedimen, sebagian sumber hara tersebut dibutuhkan untuk melakukan proses-proses metabolisme.

Dari hasil analisa organolaptik terdapat bukti nyata bahwa mangrove jenis Bruguiera gymnorrhiza tahan terhadap konsentrasi toksik sedangkan mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata tidak tahan terhadap konsentrasi toksik. Tetapi mangrove jenis Avicennia marina, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza dapat menyerap logam berat dengan efektif terbukti pada analisa logam berat yang dilakukan.

Kemampuan mangrove dalam menyerap logam berat memiliki perlakuan yang berbeda terhadap konsentrasi toksik pada setiap jenisnya, agar dapat mengurangi tingkat pencemaran di atmosfer, tanah sedimen, dan air logam berat dengan maksimal. Tumbuhan mangrove ini termasuk jenis tumbuhan air yang mempunyai kemampuan sangat tinggi untuk mengakumulasi logam berat yang berada pada wilayah perairan.



`PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sifat – sifat  Logam berat yaitu Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan), dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu (Sutamihardja dkk, 1982).
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3. Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya.Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982).
Polutan logam berat yang berada di wilayah pesisir umumnya banyak berasal dari baterai, karena baterai mengandung unsur timbal (Pb) yang beracun dan berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu, polutan logam berat di wilayah pesisir juga berasal dari pembuatan baterai, plastik PVC, pigmen cat, pupuk, rokok, dan kerang yang mengandung unsur kadmium (Cd). Adanya logam berat di wilayah pesisir berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Untuk itu adanya hutan bakau di wilayah pesisir digunakan sebagai penyerap Logam berat.

Tujuan Penulisan
Secara umum program karya tulis ini dibuat untuk memberikan gagasan baru yaitu untuk :
1.    Memberikan gagasan baru dalam mengetahui potensi hutan mangrove
sebagai penyerap polutan logam berat di wilayah pesisir.
2.    Untuk mengetahui kandungan unsur hara yang terdapat di wilayah hutan mangrove
3.    Untuk memberikan informasi pengetahuan masyarakat dari semua dampak positif hutan mangrove untuk mencegah dampak negatif dari wilayah laut.
4.    Untuk meningkatkan kualitas hutan mangrove di wilayah pesisir.

Manfaat Penulisan
Adapun maanfaat yang ingin dicapai dari gagasan tersebut adalah untuk memberikan wawasan kepada masyarakat termasuk stakeholder tentang fungsi mangrove sebagai pelindung di kawasan pesisir, seperti :
1.      mencegah abrasi dengan meredam energi gelombang arus laut,
2.      menjaga kestabilan garis pantai,
3.      selain itu juga berpotensi menyerap polutan logam berat di wilayah pesisir.
GAGASAN


Gagasan penulisan ini didasarkan pada kondisi saat ini bahwa Indonesia mempunyai luas lautan 5,8 km2 dengan jumlah pulau 17.506 dan garis pantai 81.000 km serta merupakan negara kepulauan (Setiawan, 2010). Pertama, pencemaran perairan pesisir yang semakin meningkat baik jumlah dan jenisnya yang mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan dan kerusakan sumber daya alam. Kedua, degradasi fisik habitat atau keanekaragaman hayati, seperti berkurang/rusaknya ekosistem mangrove dalam skala luas area yang cukup besar yang mengakibatkan terganggunya ekosistem estuary. Ketiga, fungsi kawasan sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi skala pelayanan nasional dan internasional dengan pola pemanfaatan ruang yang belum tertata/terpadu secara horizontal Timur Barat dan vertikal Utara Selatan (

Pemanfaatan Hutau Mangrove sebagai Sumber Bahan Kayu Bakar.
Masyarakat menganggap bahwa hutan mangrove merupakan sumber kayu yang tidak ada pemiliknya sehingga dapat diambil secara bebas tanpa ijin. Akibatnya eksploitasi hntan mangrove tidak terkendali, sehingga menyebabkan putensi hutan mangrove menurnn karena kernsakan yang terjadi semakin besar yang selanjutnya akan mengancam ketersediaan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat sekitar. Dengan demikian dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber bahan kayu bakar oleh masyarakat sekitar (Setiaji, Aji, 2001).

Pemanfaatan Hutan Mangrove sebagai Tanaman Obat
Sebagian besar bagian dari tumbuhan mangrove bermanfaat sebagai bahan obat. Ekstrak dan bahan mentah dari mangrove telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir untuk keperluan obat-obatan alamiah. Campuran senyawa kimia bahan alam oleh para ahli kimia dikenal sebagai pharmacopoeia. Sejumlah tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasinya digunakan pula sebagai bahan tradisional insektisida danpestisida. Contohnya Untuk kepentingan analgesik (pembiusan), senyawa dari Acanthus illicifolius, Avicennia marina, dan Excoecarcia agallhocha mempunyai khasiat bius namun efektivitasnya masih sedikit di bawah khasiat morfin (Purnobasuki, 2004).

Hutan Mangrove sebagai Spawning Ground (Tempat Pemijahan)
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain adalah sebagai spawning ground atau tempat pemijahan bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang (Rochana, 2011).



Arisandi (1996) melaporkan bahwa Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh jenis pohon api-api (Avicennia marina). Ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya berpotensi sebagai bioakumulator logam berat. Dari hasil penelitian terhadap kandungan logam berat tembaga (Cu) pada mangrove jenis Avicennia marina yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti Madya Lembaga Kajian dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON) pada tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo mengandung tembaga (Cu) di bagian akar sebesar 8,1782 μg/gr, dibagian kulit batang sebesar 3,8844 μg/gr dan di bagian daun sebesar 2,4649 μg/gr. Sedangkan rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 12,7277 μg/gr.
Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap pencemaran logam berat. Pantai Timur Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu). Hal ini merujuk pada penelitian Anwar (1996) yang menunjukkan bahwa darah masyarakat nelayan di Kenjeran mengandung tembaga (Cu) sebesar 2511,07 ppb dan merkuri (Hg) sebesar 2,48 ppb, padahal ambang batas tembaga dalam darah menurut ketetapan WHO adalah 800-1200 ppb, (Rini, 1999).

Pihak-pihak yang Dipertimbangkan Dapat Membantu Pelaksanaan Gagasan
a.    Aparat Keamanan Taman Nasional:
   Dengan adanya aparat keamanan, diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan mangrove dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
b.    Peneliti
Peneliti diharapkan dapat terus meneliti lebih lanjut tentang potensi mangrove sebagai penyerap polutan logam berat.
c.    Masyarakat Daerah Pesisir:
Kontribusi dari masyarakat pesisir tidak kalah penting, dari mereka juga hutan-hutan mangrove bisa dilindungi serta dilestarikan. Dan mereka juga diharapkan dapat membantu mensosialisasikan tentang potensi mangrove sebagai penyerap polutan logam berat di wilayah pesisir.

Langkah-langkah strategis yang harus ditempuh
  1. Upaya memberikan gambaran ke masyarakat tentang potensi mangrove sebagai penyerap logam berat
  2. Upaya yang dilakukan selanjutnya ialah melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengetahui fungsi-funsi mangrove antara lain mangrove sebagai pencegah abrasi, mangrove sebagai tanaman obat, mangrove sebagai spawning ground atau tempat pemijahan, dan mangrove sebagai penyerap polutan logam berat di wilayah pesisir.
  3. Upaya yang terakhir ialah melakukan reboisasi tanaman mangrove, yaitu menanam kembali mangrove yang telah rusak atau ditebang.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.        Mangrove mamiliki banyak fungsi antara lain, mangrove sebagai pelindung di kawasan pesisir, seperti mencegah abrasi, meredam energi gelombang arus laut, menjaga kestabilan garis pantai, selain itu juga berpotensi menyerap polutan logam berat di wilayah pesisir, dll.
2.        Kita dapat mengetahui potensi hutan mangrove sebagai penyerap polutan  logam berat di wilayah pesisir.
3.        Langkah-langkah strategis yang harus ditempuh untuk merealisasikan gagasan tersebut ialah:
-     Upaya memberikan gambaran ke masyarakat tentang potensi mangrove sebagai penyerap logam berat
-     Upaya yang dilakukan selanjutnya ialah melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengetahui fungsi-funsi mangrove antara lain mangrove sebagai pencegah abrasi, mangrove sebagai tanaman obat, mangrove sebagai spawning ground atau tempat pemijahan, dan mangrove sebagai penyerap polutan logam berat di wilayah pesisir.
-     Upaya yang terakhir ialah melakukan reboisasi tanaman mangrove, yaitu menanam kembali mangrove yang telah rusak atau ditebang.



                                                                DAFTAR PUSTAKA


Anwar, C. 1998. Akumulasi di Bawah Tegakan Mangrove. Prosiding Expose
Hasil Penelitian BTPDAS Surakarta, Februari 1998: 105-115. BTPDAS
Surakarta, Solo

Arisandi, 2001, “Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian Logam Berat Pesisir”, URL:http://www.terranet.com/, 10 Oktober 2009

Rini, D.S., 1999, “Analisis Kandungan logam Berat Tembaga (Cu) dan Kadmium (Cd) dalam Pohon Api-api (Avicennia marina) di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya”, Skripsi Mahasisiwi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya

Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2006. Peranan ekologis dan sosial ekonomis hutan 
Mangrove dalam mendukung di wilayah pesisir.


 Faisal Hamzah dan Agus Setiawan.2004. Akumulasi logam berat pb, cu, dan zn di hutan mangrove muara angke, jakarta utara
 Balai Riset dan Observasi Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
ching_ai_hamzah@yahoo.com, setiawan.agus@gmail.com

                                                                                                                                            

Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat


Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat
Prospect of Mangrove as Herbal Medicin
e

Hery Purnobasuki
Staf Pengajar Biologi FMIPA Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo (Kampus C UNAIR) Surabaya – 60115,
Telp./Fax. 031 5926804

Tumbuhan mangrove di Indonesia
merupakan yang terbanyak di dunia, baik dari segi
kuantitas area (+ 42.550 km2) maupun jumlah
species (+ 45 species) (Spalding et al. 2001).
Mangrove mempunyai banyak sekali manfaat yang
bersinggungan langsung dengan kehidupan manusia
di daratan, mulai dari manfaat ekologi sampai
dengan sebagai sumber pangan dan obat.
Maka sangatlah sayang bila potensi ini tidak
kita gali dan manfaatkan semaksimal demi
kepentingan bersama .Banyak perguruan tinggi dan
lembaga penelitian yang telah mengeksplorasi
berbagai tumbuhan sebagai sumber obat namun
belum banyak melirik khasiat pada tumbuhan
mangrove. Tulisan ini mencoba untuk mengangkat
dan memasyarakatkan potensi tersebut.
Sebagian besar bagian dari tumbuhan
mangrove bermanfaat sebagai bahan obat (Tabel 1).
Ekstrak dan bahan mentah dari mangrove telah
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir untuk
keperluan obat-obatan alamiah. Campuran senyawa
kimia bahan alam oleh para ahli kimia dikenal
sebagai pharmacopoeia. Sejumlah tumbuhan
mangrove dan tumbuhan asosiasinya digunakan
pula sebagai bahan tradisional insektisida dan
pestisida.
Tabel 1. Potensi khasiat medis pada beberapa mangrove yang ada di Indonesia
Nama Latin Jenis Mangrove Khasiat
Acanthus ilicifolius
Avicennia alba
Avicennia marina
Avicennia offinalis
Bruguiera cylindrical
Bruguiera exaristata
Bruguiera gymnorrhiza
Ceriops tagal
Hisbiscus tiliaceus
Ipomoea pes-capre
Lumnitzera racemosa
Nypa fructicans
Pluchea indica
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Sonneratia alba

Aphrodisiac (perangsang libido), asma, (buah); diabetes, diuretic,
hepatitis, leprosy (buah, daun dan akar); neuralgia, , cacing gelang,
rematik, penyakit kulit, sakit perut (kulit batang, buah dan daun).
Antifertilitas, penyakit kulit, tumor, borok (resin).
Rematik, cacar, borok (batang).
Aphrodiasiac, diuretic, hepatitis (buah), leprosy (kulit batang).
Hepatitis (buah, daun dan akar).
Anti tumor (kulit batang)
Sakit mata (buah).
Menahan pendarahan (kulit batang).
Infeksi telinga (bunga)
Disengat ubur-ubur (daun)
Anti fertilitas, asma, diabetes, dipatuk ular (buah).
Asma, diabetes, kusta, rematik, dipatuk ular (daun, buah).
Demam (daun, akar); borok (daun); rematik, kudis (daun, tunas);
sinusitis (kulit batang, batang).
Anti muntah, antiseptik, diare, haemostatic (kulit batang); hepatitis (kulit
batang, bunga, buah, daun); menghentikan perdarahan, typhoid (kulit
batang).
Beri-beri, febrifuge, haematoma (kulit batang); hepatitis (kulit batang,
bunga, daun, akar); borok (kulit batang).
Bengkak dan keseleo (buah)
Sumber : Bandaranayake (1998). Keterangan: *** mangrove sejati, ** mangrove minor, * mangrove assosiasi
Linneous seorang pakar botani memberi
nama salah satu tumbuhan mangrove yang penting
dan sebarannya sangat luas sebagai penghargaan
terhadap seorang Doktor berkembangsaan Arab
yang terkenal, Abu Sina (dilatinkan sebagai
Avicennia; 980-1036 AD), beliau juga dikenal
http://www.irwantoshut.com/
Potensi Mangrove Sebagai Tumbuhan Obat
126 Biota . IX (2), Juni 2004
sebagai seorang psikolog dan filosof. Negara Arab
mengembangkan kekayaan pharmacopoeia dari
berbagai spesies mangrove.
Beberapa senyawa metabolit baru-baru ini
dengan struktur kimia dan tergolong salah satu
diversitas dari ‘kelas-kelas kimia’ telah
dikarakterisasi dari tumbuhan mangrove dan
tumbuhan asosiasinya. Di antara yang terbaru
ditemukan adalah gugus substansi dari getah dan
perekat sampai senyawa alkaloid dan saponin dan
beberapa senyawa lainnya yang terkait dengan
industri obat-obatan, seperti halnya: derivat
benzoquinone, naphthoquinone, naphthofurans,
flavonoid, polyfenol, rotenone, flavoglican,
sesquiterpene, di- dan triterpene, limonoid, minyak
esensial, sterols, karbohidrat, o-metil-inositol, gula,
iridoid glikosida, alkaloid dan asam amino bebas,
feromon, gibberellin, forbol ester, keterosiklik
oksigen, senyawa sulfur, lemak dan hidrokarbon,
alcohol alipatik rantai panjang dan lemak jenuh,
asam lemak bebas termasuk PUFAs (asam lemak
tak jenuh ganda).
Selain itu mangrove kaya akan senyawa
steroid, saponin, flavonoid dan tannin. Senyawa
saponin dari tumbuhan adalah glikosida dari
triterpene dan steroid, yang larut dalam air dan
mempunyai kemampuan membentuk buih sabun
bila dikocok di air. Penggunaan saponin sebagai
deterjen alam dan racun ikan telah dikenal oleh
masyarakat tradisional. Sifat farmatikal yang
berhubungan dengan obat Cina ‘ginseng’
merupakan atribut dari senyawa saponin. Saponin
tumbuhan seperti halnya dioscin, bernilai komersial
setelah ditemukan sebagai bahan untuk hormone
steroid sintetis (Correl, et al. 1955).
Manfaat lain dari saponin adalah sebagai
spermisida (obat kontrasepsi laki-laki);
antimikrobia, anti peradangan, dan aktivitas
sitotoksik (Mahato et al., 1988). Salah satu
tumbuhan mangrove penghasil saponin steroid dan
sapogenin adalah Avicennia officinalis yang banyak
tumbuh di pesisir Indonesia.
Perkembangan pengobatan penyakit AIDS
juga mendapatkan sumber bahan baru, seperti
inhibitor HIV-1 telah dikarakterisasi dari spesies
Calophyllum inophyllum yang tumbuh di Malaysia.
Kandungan kimia spesies ini juga berpotensi
sebagai senyawa untuk anti kanker (Tosa et al.,
1997). Saponin triterpenoid dari Acanthus
illicifolius menunjukkan aktivitas anti leukemia,
paralysis, asma, rematik serta anti peradangan; dan
alkaloid dari Antriplex vesicaria juga berkhasiat
sebagai senyawa bakterisida (Kokpol et al., 1984).
Untuk kepentingan analgesik (pembiusan),
senyawa dari Acanthus illicifolius, Avicennia
marina, dan Excoecarcia agallhocha mempunyai
khasiat bius namun efektivitasnya masih sedikit di
bawah khasiat morfin.
Di Thailand dan pulau Jawa, daun dan akar
dari Pluchea indica (nama daerah: beluntas)
dilaporkan berkhasiat astringent dan antipiretik dan
juga sebagai obat penurun panas. Daun segarnya
digunakan sebagai obat borok dan bisul. Rokok
yang terbuat dari kulit batangnya dimanfaatkan
sebagai pengurang sakit sinusitis. Di Indo-China,
daun dan tunas muda yang ditumbuk dan dicampur
alkohol digunakan sebagai obat rematik dan sakit
kudis.
Eksplorasi kandungan kimia tumbuhan
mangrove sangat diperlukan untuk menemukan
agen-agen terapi baru dan informasi ini sangatlah
penting bagi masyarakat. Ada dua alasan penting
perlunya studi kandungan kimia tumbuhan
mangrove. Pertama, mangrove merupakan salah
satu hutan tropis yang mudah berkembang dan
belum banyak termanfaatkan. Kedua, aspek kimia
tumbuhan mangrove sangat penting karena
potensinya untuk mengembangkan agrokimia dan
senyawa bernilai medis.

Daftar Pustaka
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medical uses
of mangroves. Mangroves and Salt Marshes 2:
133-148.
Correll, D.S., B.G.Schubert, H.S. Gentry and W.D.
Hawley. 1955. The search for plant precursors of
cortisone. Economic Botany 52: 307-375.
Kokpol, U., V. Chittawong, and H.D. Millis. 1984.
Chemical constituents of the roots of Acanthus
illicifolius. Journal of Natural Products 49: 355-
356.
Mahato, S.B., S.K. Sarkar and G. Poddar. 1988.
Triterpenoid saponin. Phytochemistry 27: 3037-
3067.
Spalding, M.D., C. Ravilious and E.P. Green. 2001.
World Atlas of Coral Reefs. University of
California Press. Berkeley. USA.
Tosa, H., M. Iinuma, T. Tanaka, H. Nozaki, S. Ikeda, K.
Tsutsui, M. Yamada and S. Fujimori. 1997.
Inhibitory activity of xanthone derivatives
isolated from some guttiferaeous plants against
DNA topoisomerases I and II. Chemical and
Pharmatceutical Bulletin (Tokyo) 45: 418-420.

http://www.irwantoshut.com/
www.irwantoshut.co.cc
http://irwantoshut.blogspot.com
http://irwantoforester.wordpress.com
http://sig-kehutanan.blogspot.com
http://ekologi-hutan.blogspot.com
http://pengertian-definisi.blogspot.com
www.irthebest.com
email : irwantoshut@gmail.com
email : irwantoshut@yahoo.com
PERANAN EKOLOGIS DAN SOSIAL EKONOMIS HUTAN MANGROVE
DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR1)
Oleh:
Chairil Anwar2) dan Hendra Gunawan2)

ABSTRAK
Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang
penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun
demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan
pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun.
Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat
terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya,
yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di
Sumatera Barat hanya 4,7% yang baik, sementara 95,3% dalam keadaan
rusak. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan
kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya
bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir.
Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang arti penting
keberadaan mangrove dalam mendukung kehidupan perekonomian
masyarakat pesisir perlu terus digalakkan. Pengikutsertaan masyarakat dalam
upaya rehabilitasi dan pengelolaan mangrove dapat menjadi kunci keberhasilan
pelestarian mangrove. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, misalnya melalui kegiatan silvofishery, pemanenan
(seperti: kayu, nira nipah, kepiting bakau, kerang bakau, dan lain-lain) secara
lestari serta pengembangan wisata. Isu tsunami dapat menjadi pemicu untuk
menggalakkan kembali rehabilitasi hutan mangrove yang rusak di pantai barat
Sumatera dalam rangka meredam efek merusak dari tsunami, mengingat pantai
barat Sumatera merupakan jalur gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami.
Kata kunci: Mangrove, pesisir, rehabilitasi, silvofishery

I. PENDAHULUAN
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar,
biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang
terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis
tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline
young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan
basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total
nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat
laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994). Bersifat dinamis
1 Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Padang, 20 September 2006
2 Peneliti pada Kelti Konservasi Sumberdaya Alam, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
24
karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami
suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil
karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.
Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut
menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan dan
binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktorfaktor
tersebutlah yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini
menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi
kepadatan populasi masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al., 1979).
Karena berada di perbatasan antara darat dan laut, maka hutan mangrove
merupakan ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan, baik dengan
ekosistem darat maupun lepas pantai. Mangrove di Indonesia mempunyai
keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari
35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2
jenis parasit (Nontji, 1987).
Tulisan berikut merupakan hasil kajian pustaka untuk menggambarkan
peranan mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir, terutama
dalam segi ekologis maupun sosial ekonominya.

II. KONDISI MANGROVE SAAT INI
A. Kondisi Umum di Indonesia
Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam
telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup
drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam
kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra
landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo,
1994); dan berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove
Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha
di luar kawasan). Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang
ada (57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha
dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan
kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th.
Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis
mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun sembilan-puluhan. Data
penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga
2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun
tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini menunjukkan laju
rehabilitasi hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Di samping itu,
masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove,
dan bahkan dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman
mengingat perbedaan kepentingan.
B. Kondisi Mangrove di Sumatera Barat
Hampir sama dengan kondisi Indonesia pada umumnya, kondisi hutan
mangrove di Sumatera Barat juga sedang mengalami degradasi. Berdasar data
Peranan Ekologis dan Sosial … (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan)
25
Ditjen RRL (1999), total luas hutan mangrove di Sumatera Barat 51.915,14 ha.
Di daratan Sumatera Barat, hutan mangrove yang terletak dalam kawasan
hutan 6.060,98 ha dan di luar kawasan hutan 13.253,76 ha, sedangkan sisanya
terletak di Kepulauan Mentawai 32.600,00 ha. Dari luasan hutan mangrove
yang berada di daratan Sumatera Barat tersebut hanya 4,7% (909,82 ha) yang
kondisinya baik, sementara 95,3% (18.404,92 ha) dalam keadaan rusak (Tabel 1).
Tabel 1. Kondisi hutan mangrove di Sumatera Barat (1999)
Kondisi dan status kawasan
Kabupaten/Kota Baik (ha) Rusak (ha)
Kawasan Non kawasan Kawasan Non kawasan
Total luas
(ha)
Agam 42,07 10,44 221,14 1.672,42 1.946,07
Padang Pariaman 228,91 215,71 3.734,34 5.107,28 8.286,24
Pasaman 186,97 98,96 1.287,71 3.902,81 5.476,45
Pesisir Selatan 24,74 96,30 219,30 1.757,47 2.169,81
Kota Padang 2,60 3,12 41,20 389,25 436,13
Mentawai - - - - 32.600,00
Jumlah 485,29 424,53 5.175,69 12.829,23 51.915,74
Sumber: Ditjen RRL, 1999

III. PERANAN EKOLOGIS MANGROVE
A. Mangrove dan Tsunami
Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat
pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak,
pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan
kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah
migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya
bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu
telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai
bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar
kota Padang pun masih merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa
tsunami
Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai
relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan
kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam
sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam
Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan,
Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi
gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).
Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di
laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.)
memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun
tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di
sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang
pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997)
menambahkan bahwa vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat
meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat
melalui mangrove.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
26
B. Mangrove dan Sedimentasi
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan
memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang
tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang berbakau
hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan
tanah di hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di
Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah
adalah 20,6 kg/m2/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia
alba); 9,0 kg/m2/th atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0
kg/m2/th atau 4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th
(mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada
mangrove Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5
kg/m2/th atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan
terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas
kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna
mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.
C. Mangrove dan Siklus Hara
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil
pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh
Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar
1.267 g/m2/th, B. sexangula 1.269 g/m2/th, dan 1.096 g/m2/th untuk komunitas
B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove
Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2/minggu daun
dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m2/th dan 2,30
g/0,25m2/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4
g/m2/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai.
Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai, Sulawesi Selatan
menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar usia
tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun
(11,68 ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60
hr (tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9 th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th).
Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara 5-17
ton daun kering/ha/th (Bunt, 1978; Sasekumar dan Loi, 1983; Boonruang,
1984; dan Leach dan Burkin, 1985). Sukardjo (1995) menambahkan hasil
pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan
penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi
sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut
maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove.
D. Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah
turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah
kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak
petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta
merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja,
1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan
pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur
Peranan Ekologis dan Sosial … (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan)
27
terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam
Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin
meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut
meningkat dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan
produksi tangkapan dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove
dalam ha.
Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan ekonomi menunjukkan bahwa
pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan
ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan
mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai
per tahunnya (Turner, 1977). Pengurangan hutan mangrove terutama di areal
green belt sudah barang tentu akan menurunkan produktivitas perikanan
tangkapan.
E. Mangrove dan Intrusi Air Laut
Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai
jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk
wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik,
masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan,
Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.
F. Mangrove dan Kesehatan
Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di
Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut.
Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit
malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin
terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan
kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya arealareal
pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan,
dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak
tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali
lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari
tambak yang masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana
kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun
ikan).
G. Mangrove dan Keanekaragaman Hayati
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis
satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara
garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang,
kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia,
mamalia, dan burung (Nirarita et al., 996). Gunawan (1995) menemukan 12
jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan
mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara. Hasil
survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung
yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
28
167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun
migran (Nirarita et al., 1996).
Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung
(Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina),
luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga
menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis
reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular
belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular
air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata,
dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan
mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996).
Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang
dilindungi seperti pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung
(Freagata andrew-si), kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah
(Nycticorax caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam
(Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung duit (Vanellus
indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia (Limnodromus semipalmatus),
gegajahan besar (Numenius arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus)
(Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul
perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis cinereus), dan
cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove
(Whitten et al., 1988).

IV. PERANAN SOSIAL EKONOMIS MANGROVE
Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung
antara lain:
A. Arang dan Kayu Bakar
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari
Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di
Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau,
dan Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar
330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan
Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10
ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor
arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$
13.000.000 (Inoue et al., 1999).
Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza
merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas
yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-/m3 yang
cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak.
Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50
cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat
penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan
bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al., 1999).
Peranan Ekologis dan Sosial … (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan)
29
B. Bahan Bangunan
Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza
sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena
batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an
dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai
harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan
(Inoue et al., 1999).
C. Bahan Baku Chip
Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun
1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian
besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau,
Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional
kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
D. Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata,
dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri
sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan
sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
E. Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi
masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah
yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap
nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga
nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di
waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di
Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan
hasil 460 ton pada tahun 1999.
F. Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air
rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata
dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal
dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus
illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).
G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove
Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan
mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun
dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian
480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini
tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas
perikanan pada perairan bebas.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan
mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
30
dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery
berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum
Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya
adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai
pengganti tanaman polowijo, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak
(Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984).
Semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan
dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya
mencapai 10-15% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan
harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup
(Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak
tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal untuk
budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas.
Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan
udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk
2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995). Dalam membandingkan
pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan
menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik
dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan
hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola
(Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g
sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit
menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih
berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem
ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak.
Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini
cukup besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal
mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam
kegiatan silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang
Pertanian (1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari
usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan
129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138
milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
117.034 KK yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang
lebih baik bagi petani kecil.
H. Pertanian
Keberadaan hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai
terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai.
Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari
Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di
areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan
pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air
laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati. Di Bali, garam
yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak
mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan
bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram
Peranan Ekologis dan Sosial … (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan)
31
(Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe
dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).
I. Pariwisata
Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam
antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar
(Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah).
Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata
alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan
laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh
pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera
Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan,
memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi
pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan
perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja
dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan
perahu, dan menjadi pemandu wisata.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang
sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Luas
mangrove di wilayah Provinsi Sumatera Barat sekitar 95 % (18.404,92 ha)
kondisinya rusak dan hanya sekitar 5 % (909,82ha) dalam kondisi baik. Oleh
karena itu, kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak
negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami,
abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit).
Kota Padang yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam
kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata
(ekoturisme).
Dalam merehabilitasi mangrove seluas 18.405 ha areal mangrove di
daratan Provinsi Sumatera Barat yang diperlukan adalah master plan yang
disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan
ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat memberikan kontribusi
dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya.
Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar
ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara
optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan
tangkapan serta penyerapan polutan perairan).

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. 1998. Akumulasi di Bawah Tegakan Mangrove. Prosiding Expose
Hasil Penelitian BTPDAS Surakarta, Februari 1998: 105-115. BTPDAS
Surakarta, Solo
Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove
Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan
Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi
Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember
2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
32
Boonruang, P. 1984. The Rate of Degradation of Mangrove Leaves,
Rhizophora apiculata BL and Avicennia marina at Phuket Island, Western
Peninsular of Thailand. Proc. As. Symp. Mangr. Env. Research and
Management (ed. E. Soepadmo, A.N. Rao; D.J. Macintosh),
Kualalumpur, June 1984: 200-208.
Bratamihardja, H. M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Pulau
Jawa. Prosidings Seminar IV, Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-
9 Agustus 1990: 59-63. Program MAB Indonesia – LIPI. Jakarta.
Bunt, J.S. 1978. The Mangrove of the Eastern Coast of Cape York Peninsula of
Cooktown. Great Barrier Reef Mar. Park Author Working Paper No.
1:253-269.
Departemen Kehutanan. 2004 Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry
Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Diposaptono, S. 2005. Rehabilitasi Pasca Tsunami yang Ramah Lingkungan.
Kompas, 10 Januari 2005.
Dit. Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen
Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta.
Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Inventarisasi dan Identifikasi
Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. PT
Insan Mandiri Konsultan. Jakarta.
Gunawan, H. 1995. Keragaman Jenis Ikan, Terumbu Karang dan Flora Fauna
Hutan Mangrove, Taman Nasional Laut Bunaken-Manado Tua. Laporan
Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Gunawan, H. 2000. Desentralisasi : Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat
Adat (Studi Kasus Masyarakat Adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur,
Provinsi Sulawesi Selatan). CIFOR. Bogor.
Gunawan, H. dan C. Anwar. 2005. Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan
Pendekatan Silvofishery. Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan).
Halidah. 2000. Produksi dan Kecepatan Penguraian Serasah Rhizophora spp.
dan B. gymnorrhiza di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Prosiding
Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan, Makassar, 22 November 2000:
202-208. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999.
Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan
dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.
Istiyanto, D.C., S.K. Utomo, dan Suranto. 2003. Pengaruh Rumpun Bakau
terhadap Perambatan Tsunami di Pantai. Makalah pada Seminar
Nasional “Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil
Riset” di Yogyakarta, 11 Maret 2003.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I. G. M. Tantra. 1979.
Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Mangrove. LIPI-MAB: 21-39., Jakarta.
Khairijon. 1999. Analisis dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan
Rhizophora mucronata Menurut Zonasi di Hutan Mangrove Pangkalan
Batang, Bengkalis, Riau. Prosidings Seminar VI: Ekosistem Mangrove,
Pakanbaru, 15-18 September 1998: 297-303. Kontribusi MAB Indonesia
No. 76-LIPI, Jakarta.
Peranan Ekologis dan Sosial … (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan)
33
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of a
Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V:
Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 247-265. Kontribusi
MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Leach, G.J. and S. Burgin. 1985. Litter Production and Seasonality of
Mangrove in Papua New Guinea. Aqu. Bot. 23:215-224.
Martodiwirjo, S. 1994. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan
Mangrove dalam Pelita VI. Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan
Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, 26-28 Oktober 1994 (tidak
diterbitkan).
Mazda, Y. and E. Wolanski. 1997. Drag Force Due to Vegetation in Mangrove
Swamp. Mangrove and Salt Marches. Kluwer Academic Publisher,
Netherland.
Mazda, Y. and M. Magi. 1997. Mangrove Coastal Protection From Waves in
the Tong King Delta, Vietnam. Kluwer Academic Publisher, Netherland.
Nirarita, C.E., P. Wibowo dan D. Padmawinata (eds). 1996. Ekosistem Lahan
Basah Indonesia. Kerjasama antara Wetland International - Indonesia
Programme, Ditjen PHPA, Canada Fund, Pusat Pengembangan
Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam dan British Petrolium. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Perhutani. 1995. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial
Ekonomi pada Masyarakat Desa Pesisir Pulau Jawa. Prosidings Seminar
V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 35-42. Kontribusi
MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Perhutani Jawa Barat. 1984. Pengelolaan Hutan Mangrove KPH Purwakarta.
Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 53-56. LIPI, Balai Penelitian
Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program Kehutanan,
Jakarta.
Perhutani Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove
KPH Purwakarta, Perhutani KPH Purwakarta, Purwakarta.
Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Sylvofishery terhadap Pertambahan
Berat Ikan Bandeng (Canos canos Forskal) di Kawasan Mangrove Pantai
Utara Kabupaten Brebes. Jurnal Konservasi Kehutanan, Vol. 2, Agustus
2000: 109-124, UGM, Yogyakarta.
Pratikno, W.A., Suntoyo, K. Sumbodho, Solihin, Taufik dan D. Yahya. 2002.
Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko
terhadap Bahaya Tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove, di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.
Rusminarto, S., A. Munif, dan B. Riyadi. 1984. Survey Pendahuluan Fauna
Nyamuk di Sekitar Hutan Mangrove Tanjung Karawang, Jawa Barat.
Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 232-234. LIPI, Balai
Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program
Kehutanan, Jakarta.
Sasekumar, A. and J. J. Loi. 1983. Litter Production in Three Mangrove Forest
Zones in Malay Peninsula. Aqu. Bot. 17: 283-290.
Sediadi, A. 1991. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi di Pantai
Teluk Jakarta. Prosidings Seminar IV, Ekosistem Mangrove, Bandar
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
34
Lampung, 7-9 Agustus 1990: 101-110. Program MAB Indonesia-LIPI.
Jakarta.
Sukardjo, S. 1995. Gugur Daun dan Unsur Hara di Hutan Mangrove Muara
Angke-Kapuk, Jakarta. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove,
Jember, 3-6 Agustus 1994: 128-134. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-
LIPI, Jakarta.
Sukresno dan C. Anwar. 1999. Kajian Intrusi Air Asin pada Kawasan Pantai
Ber-lumpur di Patai Utara Jawa Tengah. Bulletin Teknologi Pengelolaan
DAS V (1) : 64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.
Sumedi, N. dan D. Mulyadhi. 1996. Kajian Sylvofishery pada Hutan Mangrove
di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bulletin Penelitian
Kehutanan No. 1 th 1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang,
Makassar.
Sutedja, IGNN dan M. Y. Indrabrata. 1992. Mengenal Lebih Dekat Satwa yang
Dilindungi : BURUNG. Biro Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Turner, R.E. 1977. Intertidal Vegetation and Commercial Yields of Penaeid
Shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106: 411-416.
Wirjodarmodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa Pengalaman Perum
Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Prosiding Seminar II:
Ekosistem Mangrove: 29-40. LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum
Perhutani, Biotrop, Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1988. The Ecology of Sulawesi.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

KUALITAS LINGKUNGAN PERAIRAN BANTEN DAN SEKITARNYA DITINJAU DARI KONDISI LOGAM BERAT
Oleh
ENDANG ROCHYATUN 1), LESTARI 1) DAN ABDUL ROZAK 1

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005 ISSN 0125 – 9830 No. 38 : 23 – 46
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir Banten sampai Ujung Kulon merupakan badan air yang langsung menampung limbah perkotaan dan industri, sehingga daerah ini cukup rawan terhadap pencemaran. pesisir pantai Banten, Cilegon dan Anyer banyak kegiatan industri kimia, PLTU, baja, pelabuhan, perhotelan dan wisata bahari.Perkembangan industri dan pertambahan penduduk yang cukup pesat di Banten pada saat sekarang ini, akan berakibat lanjutan yaitu timbulnya bahan cemaran.
Banten merupakan wilayah yang terletak di bagian barat dari daratan Jawa. Oleh karena perkembangan pembangunan yang cukup pesat, terutama dalam bidang industri, perikanan dan wisata, Salah satu kekuatan Banten terletak pada pelabuhan, secara sektoral pelabuhan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan turut memberikan artikulasi politik bagi daerahnya, karena pelabuhan merupakan infrastruktur strategis bagi kegiatan ekonomi, transportasi, dan bahkan bagi kelancaran akulturasi dan komunikasi antar berbagai wilayah, Hampir setiap hari ribuan manusia melewati jalan pelabuhan ini untuk keperluan dari dan ke Sumatera dan Jawa.Banten telah dikukuhkan menjadi provinsi tersendiri, yang merupakan pemekaran dari provinsi Jawa Barat. Kegiatan yang terdapat di wilayah pesisir Banten dapat dibagi menjadi tiga, yaitu bagian utara dari Teluk Banten sampai dengan Cilegon merupakan wilayah kegiatan industri. Pesisir ( Pantai ) juga dapat dimanfaatkan untuk pembangunan kawasan industri. Kini pun disepanjang jalur Cilegon – Anyer telah tumbuh industri-industri raksasa, yaitu industri baja dan kimia.
Kemajuan di bidang industri dan pertanian di masa sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan tekanan terhadap pertanian di sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah industri dan penduduk membawa akibat bertambahnya beban pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan limbah industri, dan domestik. Pencemaran akibat kegiatan industri dapat menyebabkan kerugian besar, karena umumnya buangan/limbah mengandung zat beracun antara lain senyawa khlor, raksa, cadmium, khrom, timbal dan lain sebagainya yang sering digunakan dalam proses produksi suatu industri baik sebagai bahan baku, katalisator ataupun bahan utama.
Logam berat merupakan bahan buangan yang sudah sering menimbulkan pencemaran laut atau pantai di negara-negara yang sedang berkembang. Diketahui ada 18 jenis logam berat yang dipertimbangkan sebagai bahan pencemar, namun ada beberapa dari logam berat tersebut yang esensiel untuk kehidupan organisme, misalnya Mn, Fe dan Cu tetapi dalam jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme (BRYAN 1976). Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan, pertanian dan pemukiman. Kandungan logam berat dalam perairan dipengaruhi oleh parameter fisika
LOGAM BERAT DIPERAIRAN BANTEN
dan kimia yaitu arus, suhu, salinitas, padatan tersuspensi dan derajat keasaman (pH). Masalah pencemaran merupakan masalah besar sebagai salah satu dampak negatip dari kemajuan bidang industri dan domestik. Limbah industri jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan dampak bagi lingkungan terhadap manusia maupun organisme-organisme yang hidup disekitarnya. Bahan cemaran logam berat biasanya berasal dari kegiatan industri selain bersifat racun bagi organisme perairan, logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh ikan,udang dan hasil laut lainya. Hal ini akan berakibat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasil–hasil laut tersebut. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan estuaria merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada air laut di lautan lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya, sedangkan di daerah sekitar pantai kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan (DARMONO 1995).Pada daerah-daerah perindustrian, sungai dan laut disekitarnya umumnya berangsur-angsur menerima tekanan terus menerus. Muara sungai umumnya merupakan alur perjalanan bahan cemaran yang dibawa melalui sungai dari aktivitas didarat ke laut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan Banten dan sekitarnya ditinjau dari logam beratnya sebagai dampak dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir pantai Banten.
BAHAN DAN METODE
Penelitian tingkat pencemaran di perairan Banten dan sekitarnya telah dilakukan sebanyak 4 kali, Contoh air laut diambil dari 21 stasiun dan contoh sedimen diambil dari 7 stasiun yaitu pada bulan April 2001 (Merak, Cilegon sampai dengan Anyer), bulan Juni 2001 (Anyer sampai dengan Carita) 22 stasiun air laut dan 13 stasiun sedimen, bulan Agustus 2001 (Carita sampai dengan Batucawar) 22 stasiun air laut dan 22 stasiun sedimen dan bulan Oktober 2001 (Teluk Pujut- Teluk Banten) 21 stasiun air laut dan 9 stasiun sedimen (Gambar 1, 2, 3, 4, & 5).
Contoh air laut diambil dengan menggunakan Water Sampler Van Dorn yang volumenya lebih dari 5 liter. Segera setelah pengambilan contoh air dimasukkan kedalam botol polietylen yang volumenya lebih kurang 1 liter. Contoh air tersebut segera disaring dengan kertas saring sellulose nitrat (0,45 um dengan garis tengahnya 47 mm) yang sebelumnya dicuci dengan HNO3 (1:1) setelah itu diawetkan dengan HNO3 (pH < 2) (BATLEY & GARDNER 1977). Contoh air kemudian dibawa ke laboratorium di Jakarta. Di laboratorium air tersebut (250 ml) dimasukkan dalam corong pisah teflon, kemudian diekstraksi dengan APDC/NaDDC/MIBK.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Merak, Cilegon – Anyer
Hasil analisa kadar logam berat (Pb, Cd, Zn, Ni dan Cu) dalam air laut dan sedimen di perairan pesisir Merak, Cilegon – Anyer disajikan dalam Tabel 1 dan 2.
Dalam Tabel 1 tampak bahwa kadar logam berat (Pb, Cd, Zn, Ni dan Cu) dalam air laut berkisar antara Pb = <0,001-0,018 ppm (rata-rata = 0,006), Cd = <0,001-0,001 ppm (rata-rata = 0,001 ppm), Zn = <0,001-0,018 ppm (rata-rata = 0,005 ppm), Ni = <0,001-0,004 ppm (rata-rata = 0,001 ppm) dan Cu = 0,006 ppm) di perairan pesisir Merak – Anyer adalah logam Pb, kadar tertinggi tersebut ditemukan di Stasiun 5, 7, 10, 14, 19 dan 21. Hal ini kemungkinan disebabkan karena lokasi tersebut merupakan jalur transportasi perahu-perahu nelayan, bongkar muat beraneka ragam barang dari kapal-kapal dan kondisi pola arus pasang surut yang cukup tenang menyebabkan bahan cemaran yang mengandung logam Pb mengalami proses pengenceran cukup rendah, sehingga akan mengendap didasar laut. Kadar logam berat (Pb, Zn, Ni dan Cu) di dalam sedimen juga tinggi yaitu di Stasiun 1, 3, 5, dan 9. (Tabel 2 & Gambar 2). Lain halnya dengan stasiun yang lainya yang letaknya jauh dengan aktivitas
Kadar logam berat dalam air laut yang cukup tinggi di perairan pesisir Merak, Cilegon dan Anyer untuk parameter Pb, Cd, Ni dan Cu ditemukan di Stasiun 5 (Cilegon), kadar Zn di Stasiun 2 (Merak). Hal ini kemungkinan karena Stasiun-stasiun tersebut merupakan jalur transportasi keluar masuk kapal-kapal ke Sumatera dan Jawa, tempat berlabuhnya kapal-kapal tanker maupun feri yang menunggu giliran untuk berjalan dimana kapal–kapal tersebut membuang air balas yang mengandung logam Pb, Cd, Ni dan Cu ke laut, sehingga kadar logam tersebut tinggi. Sedangkan kadar logam berat dalam air laut yang cukup rendah adalah Cd, Ni dan Cu ditemukan pada umumnya di hampir semua stasiun dan lokasi.
KESIMPULAN
Kadar logam berat dalam air laut disepanjang pesisir pantai Banten (dari Teluk Banten di sebelah Utara sampai Batucawar di sebelah Selatan) sangat bervariasi namun kisaran kadar logam beratnya konsentrasi masih tergolong rendah.
Di perairan Banten–Merak logam berat dalam air laut maupun sedimen pada umumnya lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan ketiga perairan lainya (Merak–Anyer, Anyer–Carita dan Carita–Batucawar)
Kisaran kadar logam berat dalam air laut di sepanjang perairan Banten mulai dari Teluk Banten sampai Batucawar masih memenuhi Baku Mutu Air laut yang ditetapkan Kantor Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KMNKLH, 1988) dan KMNKLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup